Ahlan wa sahlan bihudurikum... mohon tinggalkan jejak anda, syukran... :)

Senin, 03 Desember 2012

Melawan Rindu

Aku tidak tahu apa yang membuat lidah ini kaku Aku tidak paham mengapa setiap sendi ini mendadak linu Aku tidak layak menjelma menjadi hatiku sendiri Karena aku sudah berdusta saat matanya menatap jelas syahdu Dan denyut seketika melayu, melawan untuk tidak jadi rindu

Sabtu, 26 November 2011

Dijebak Iba

Remang redup, lemas, belum jelas mataku memandang kemudian kaget hingga akhirnya mataku terbuka. Aku tidak tahu sekarang berada di mana. Di atas kasur keras berkutu, panas. Ku coba membangunkan diri dari posisi tidur menjadi duduk, cahaya matahari masuk melalui ventilasi sedikit membantu untuk melihat sekeliling, kaget. Ini ruang tidur. Entah ruang tidur siapa. Sayup terdengar suara mesin air bersamaan dengan teriakan laki-laki. Aku coba bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu, terkunci, pintunya terkunci dari luar. Ada cahaya terang terpancar dari celah kunci, mengundang rasa penasaranku untuk mengintip keluar. Kali ini suara teriakan itu lebih keras terdengar dan beriringan dengan tangisan anak kecil, isaknya keras, tidak asing. Ah! Itu suara Nas Gadis kecil yang aku tolong. Aku ingat, sebelum ada di ruang ini aku terakhir bersamanya.


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





Tumpukan tugas kuliah membuatku geram. Ingin rasanya segera menyelesaikan kuliah dan hidup tanpa tekanan. Malam itu aku baru saja berkonsultasi dengan dosen antropologi budaya, tidak biasa aku pulang malam begini. Tapi inilah konsekuensi dari seorang pelajar, tugas, tugas, dan tugas. Hampir setiap hari. kali ini aku harus pulang lebih malam dari biasanya karena ada beberapa buku yang ingin aku pinjam dari dosen antropologi budaya. Aku menunggu di depan ruang dosen sambil membuka notebook untuk merampungkan tugas-tugas yang bisa diselesaikan. Sepi, hanya ada sekitar 10 orang di lantai itu termasuk aku. Sebagian ruangan sudah padam lampunya. Pukul 21:00 akhirnya dosen itu tiba.



"wah.. Maaf San. Nunggu lama ya?"



"gak apa-apa bu."



"tunggu di sini ya. Oh iya.. Kamu sudah makan?"



"saya tidak lapar bu. Terima Kasih."



Masuklah dia ke dalam ruang dosen. Ketika dibukakan pintu, udara dingin ruangan itu terasa sampai ke arah tempatku duduk, sejuk hingga menembus jaket. Lima menit berlalu. Datanglah ibu itu dengan beberapa buku yang aku minta. Ia menyeringai menatapku. Lalu tersenyum ramah.



"Ini San buku-bukunya.", ia letakan tumpukan buku itu di atas meja tempatku duduk. Wow.. Sepertinya berat. Aroma buku tua, aku melihat satu persatu buku itu. Kekuningan kertasnya, terlihat ada beberapa jahitan di bagian jilid buku. Ini memang bukan buku sembarangan, jarang orang yang memiliki.



"tolong dijaga jangan sampai rusak ya."



"iya bu.. Terima kasih.", aku memasukan buku tersebut ke dalam plastik dan sebagian ke dalam ransel. Senang akhirnya aku mendapatkan yang aku butuhkan.



"hmm.. Ibu saya langsung pamit ya."



"oh iya.. Hati-hati. Ngomong-ngomong kamu pulang sendirian?"



"ehm.. Iya bu."



"gak apa-apa sendirian?"



"udah biasa kok bu. Tenang aja."



"oke lah.. Hati-hati ya."



Aku berjalan ke luar fakultas. Sedikit orang lalu-lalang di sekitarnya hanya ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang baru selesai kuliah, mungkin karena habis hujan, jalan juga menjadi agak sepi. Hanya ada beberapa tukang ojek yang lalu-lalang menawarkan diri untuk ditumpangi. Beberapa mobil lewat dengan kecepatan agak tinggi. Lampu-lampu jalan raya tidak semua menyala, cahayanya remang-remang sebagian memantul ke genangan air di jalan raya, memancarkan pesona kelembaban udara dan dinginnya udara malam itu. Aku berjalan terus menyusuri trotoar jalan raya. Dekat dengan pintu pagar menuju keluar ada anak kecil tertunduk menangis. Dia menatapku dari kejauhan, aku terus berjalan tidak peduli. Ini sudah malam aku harus segera kembali ke kos-an dan mngerjakan tugas-tugasku. Tepat satu meter di depannya dia memanggilku.



"Kak.. Tolong aku kak."



Aku keluarkan uang dari dompet dan memberikannya kepada anak itu. Tanpa banyak kata.



"aku gak minta uang kak."



"terus kamu mau apa?"



"aku mau minta tolong kak."



"tolong apa?"



"aku mau pulang, kak."



"memang rumah kamu di mana dek?"



"di gang sadar kak."



Gang sadar. Itu tidak jauh dari tempatku, hanya beberapa blok. Kasihan anak ini, pasti ada masalah sehingga sampai menangis ingin pulang. Anak ini agak dekil, bajunya lembab, rambutnya ikal, basah. Aku antar ia sampai ke rumah. Menyebrang rel kereta lalu melewati gang-gang kecil hingga akhirnya bertemu dengan jalan raya yang ramai. Aku berdiri diantara gapura, banyak angkot berhenti menunggu penumpang. Gang sadar ada di sebrang jalan sana. Bersama anak itu aku menyebrang sambil menuntun tangannya yang mungil. Sampai di sebrang ia menangis. Dan menghentikan langkah.



"hiks.. kak.. Aku gak mau pulang."



"lho.. Kenapa dek? Ada apa?"



"takut kak."



"takut kenapa?"



"takut dimarahin bapak."



"Memang bapak kenapa? Oh iya.. Nama kamu siapa?", sambil menurunkan badan agar sejajar dengannya. Aku bingung harus bagaimana kali ini.



"namaku Nas kak.. Bapakku suka jahat kak. Hiks.."



"jahat gimana?"



Nas terdiam. Hanya bisa terus menangis. Air matanya terusap oleh asap kendaraan yang lalu-lalang. Entah apa masalahnya aku tidak tahu. Matanya berbicara ada masalah berat yang tidak dia mengerti. Aku iba kali ini. Perempuan kecil yang malang.



"hmm.. Nas tenang aja ya. Nanti kakak antar sampai ketemu bapak supaya Nas gak dimarahin lagi."



"jangan kak.", sambil mengusap air mata dan menghapus lendir yang turun dari hidungnya.



"gak apa-apa, yuk kakak antar sampai rumah."



Akhirnya Nas berhenti menangis, dan mau menerima tawaranku. kali ini Ia menuntunku ke dalam gang sadar. Masih banyak orang sedang makan malam di warung makan sepanjang gang.



"Nas kenapa takut pulang? Kakak boleh tau gak?"



"bapak orang jahat kak!"



"jangan bilang gitu Nas. Sejahat-jahatnya orang tua pasti akan tetap sayang dengan anaknya. Udah ya jangan sedih nanti kakak akan bicara dengan bapak Nas, supaya Nas tidak kena marah. Senyum dong."



Nas tersenyum bingung. Entah apa yang ia sembunyikan. Mungkin ia hanya bertengkar biasa dengan bapaknya. Dan sekarang pasti bapaknya sedang mencari-cari di mana Nas berada. Mudah-mudahan aku bisa membantu Nas.



"kak.. Warna jilbab kakak lucu ya, biru. Nas dari dulu ingin pakai jilbab tapi gak punya kak. He.."



kaget aku mendengar celoteh dari bibir mungil yang sedari tadi hanya terisak dan sedikit bicara.



"Nas mau pake jilbab? Nanti kakak ajarin deh ya bagaimana pakai jilbab. Sekarang yang penting Nas pulang dulu ya."



"Iya kakak cantik."



"he.. Oh iya, nama kakak, San."



"gak apa-apa kan kalau aku panggil kakak cantik?"



Aku tersenyum mendengar celotehnya yang polos. Serasa punya adik baru dalam waktu yang sebentar.Aku berjalan terus sampai di ujung gang yang penuh dengan pohon rambutan dan bambu, cukup jauh. Aku bingung dimana rumah anak ini.



"kak sampai sini aja ya. Terima kasih sudah antar Nas sampai sini."



"lho.. Rumah kamu di mana?"



"di sana kak. Itu yang ada lampu di tengah kebun bambu."



Redup cahanya. Aku bisa melihat dari pinggir jalan tempatku berdiri. Rumah setengah tembok dan setengah lagi anyaman bambu.



"ayo kakak antar sampai ketemu bapak."



"jangan kak. Aku gak mau terjadi sesuatu sama kakak. Kakak pulang aja, ini sudah malam."



Makin penasaran aku dibuatnya. Masalah apa yang ia sembunyikan. Aku sudah berjanji akan berbicara dengan Bapak Nas. Aku menarik tangan Nas.



"ayo Nas. Kakak mau ketemu bapak kamu."



Sampai aku di depan pintu.



Tok.. Tok..



"assalamualaykum."



Tok.. Tok..



"assalamualaykum."



"siapa tu? Ganggu aja malem-malem.", terdengar teriakan keras seorang lelaki. Aku siap untuk menghadapi Bapak Nas, suaranya menggambarkan bagaimana sosok Bapak Nas, mungkin garang. Segarang apapun, meski bukan urusanku, tapi Nas masih kecil dia berhak mendapatkan kasih sayang.Terbukalah pintu rumah itu. Keluar laki-laki setengah telanjang bercelana jeans. Terlihat bekas luka di bagian dadanya dan ada sedikit tatto di lengan kiri.



"ada apa? Siapa lo?"



"ini pak. Saya mau antar Nas pulang."



"oh.. Biarin aja dia gak pulang juga gak masalah, gue gak peduli. Hahaha."



"jangan gitu pak. Ini anak bapak."



"eh! Diem lo. Bukan urusan lo."



Sepertinya bapak Nas sedang mabuk. Sekarang Aku mengerti masalah Nas. Aku putuskan untuk mengembalikan Nas segera ke bapaknya tapi saat itu juga aku berpikir ingin membawa Nas ke tempat kos ku.



"Nas, maafin kakak. Kakak gak bisa bantu banyak.", entah mengapa air mataku kali ini menetes.



"kak.. Aku mau ikut kakak.", sambil menangis Nas memohon.Terlalu beresiko jika aku membawa Nas. Akhirnya aku pamit dengan Nas dan bapaknya. Tiga langkah aku berlari kecil.



"mau kemana lo, hah?!!"



Aku ingat itu teriakan terakhir yang ku dengar.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



"aw.. Sakit."



Punggungku terasa nyeri. Tersentak aku. Kemana jilbab yang aku pakai dan pakaian yang aku kenakan. Entah apa yang sudah terjadi terhadapku, aku tidak mengerti. Sulit untuk menahan tangis. Di pojok kamar dekat lemari dan jendela. Di sana pakaianku tergeletak. Di atas buku yang aku pinjam dan ransel merahku. Suara teriakan laki-laki masih terdengar keras. Aku ambil pakaianku dan jilbab segera ku kenakan asal, yang penting tertutup. Aku ambil ransel dan buku tua pinjaman dosen. Lalu aku hancurkan kaca jendela dengan buku itu. Ternyata tembok yang menahan jendela itu ikut roboh. Aku loncat lalu berlari semampuku. Dari kejauhan aku dengar teriakan sumbang laki-laki itu. Maafkan aku Nas.



Disadur dari kisah nyata.

Minggu, 13 November 2011

Ketika Hafalan Diuji #3

“apa kamu ingin sembuh, Din?.”, El bertanya dengan penuh iba.

“ya, aku ingin sembuh, El, tolong bantu aku El..”, setengah menangis Din menjawab.

“Insya Allah Din, aku bantu semampuku, afwan (maaf) aku lancang menanyakan hal ini kepadamu.”

“tidak apa El.. maafkan aku yang sudah tidak sopan terhadapmu waktu itu, rasanya lebih baik aku mati saja.”

“sudah kawan. Aku sudah memaafkanmu. Dan sudahlah jangan menangis, kamu ini laki-laki, ayo bangkit dan jangan menangis seperti itu. Aku janji akan membantu hingga kau normal”. El tersenyum tegas sambil menatap Din yang terisak.



…………………………………………………………………………………………………………………………..


“ada apa dengan Din? Mengapa sekarang dia berubah? Apa dia lupa dengan Allah?”. Teriak si San dengan penuh rasa kesal.

“hey San... kalau aku tahu tidak mungkin aku mengumpulkan kalian semua di sini”. Jawab Ryo ketus.

“Astaghfirullah.. sudah.. sudah.. jangan menambah suasana makin kacau dasar ikhwan-ikhwan tidak bisa menjaga emosi. Coba tenang sedikit.”, Mis mencoba menetralkan suasana.

“tenang kawan. Ini hanya masalah yang biasa terjadi, ini hanya masalah virus merah jambu yang menimpa Din. Kita pasti bisa menyelesaikannya. Kalau boleh jujur aku juga kesal, tapi tenanglah.”

“iya tenang, tapi bagaimana cara menyelesaikannya kas?.”, Tanya San dengan nada tinggi.

“apa kau ada ide El?”, tanya Kas.

Den, Kas, El, San, Ryo, Din, & Mis teman dekat yang selalu bersama dalam setiap kegiatan di Kampus. Awal pertemuan mereka terjadi ketika lembaga dakwah kampus mengadakan acara untuk mahasiswa baru. Semenjak pertemuan pertama di Masjid kampus itu, mereka menjadi akrab dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan dakwah kampus, bahkan sering terjun langsung untuk menjadi panitia dalam acara-acara dakwah kampus. Selama dua tahun pertemanan mereka tidak ada hal yang mengganggu atau membuat keretakan diantara mereka, hanya pertengkaran atau perdebatan kecil biasa saja bahkan konyol. Berdebat dalam hal kepanitiaan, meributkan masalah pelajaran, berebutan motor untuk menumpangi sepeda motor San, berebutan makanan, banyak sekali hal konyol yang wajar mereka lakukan. Dan itu semua bumbu yang mempererat hubungan persaudaraan diantara mereka walaupun mereka berbeda fakultas dan tidak pernah saling kenal sebelumnya.
Mereka terus tumbuh dan berkembang menjadi aktivis dakwah kampus yang hebat, mereka berprestasi, banyak posisi penting di dalam organisasi dan kepanitiaan mereka yang menempati, IPk selalu cum laude, banyak yang mengenal mereka, entah sudah berapa konferensi tingkat Internasional yang mereka hadiri di berbagai Negara, banyak hadiah yang mereka dapat dari lomba-lomba yang mereka ikuti. Seolah diantara mereka tidak ada yang mau kalah dalam hal prestasi dan organisasi.
Tahun kedua mereka di kampus menjadi hari-hari yang berat dalam hubungan pertemanan yang mereka jalin. Din mulai berubah. Din dekat dengan seorang wanita, bernama Ri. Entah apa yang membuat Din menjadi seperti itu, bukan sekadar hubungan biasa, orang-orang yang melihat mereka pasti akan mengira mereka berdua memilik hubungan spesial. Semua teman dekat Din berusaha mencari tahu apa penyebabnya. Mis yang seorang akhwat sudah berusaha mendekati Ri untuk mencari tahu dan mengingatkan Ri agar tidak dekat dengan Din. Mis berusaha meyakinkan bahwa Mis tidak ingin Din dan Ri berdosa kepada Allah.

………………………………………………………………………………………………….

“biarkan saja Din seperti itu.”, jawab El.

“apa maksdumu El? Aku tidak terima kamu bicara seperti itu, mengapa harus dibiarkan? kita ini sahabat Din, bukan?”, teriak Ryo kepada El.

“El.. kenapa El?”, Tanya Mis dengan kaget.

El terdiam, forum mendadak diam. Semua menanti jawaban El.

“aku tidak tahu. Aku pikir itu baik untuk Din.”

“hey El.. baik dimananya El ?! apa maksudmu?!”, tanya San sambil mengepalkan tangan.

“aku tidak tahu, San.”

“El.. ada yang kamu sembunyikan, ya?”, Tanya Mis.



------------------------------------------------------------------------



El orang yang paling dekat dengan Din. El yang pertama tahu ketika Din mempunyai masalah.El yang paling sering membantu Din ketika ada masalah. Mereka satu kelompok dalam pengajian halaqah. Hampir setiap hari mereka selalu berangkat bersama ke kampus. Suatu hari El melihat ada yang berbeda dari Din. El merasa Din memiliki kelainan, yaitu Din menyukai sesama jenis. Bukan tanpa bukti El berkesimpulan seperti ini. El selalu menyelidiki gelagat Din yang aneh. Pernah suatu malam Din menginap di kosan El. Pada malam harinya menjelang tidur El dan Din saling bercerita tentang masalah di kampus yang belakangan terjadi. Obrolan mereka hangat sehingga membuat keduanya tertidur. Ketika tidur El merasa ada yang memeluk dan menyentuh bagian kemaluannya. Setengah tersadar El, agak aneh, El dalam keadaan pura-pura tidur yakin bahwa yang melakukan itu adalah Din. El tidak ingin terbangun begitu saja, ia tidak ingin mengagetkan Din. Sambil terus beristighfar dalam hati, tidak lama kemudian alarm Hp yang biasa membangunkan El Qiyamul Lail berbunyi kencang. Din kaget dan menyudahi prilaku tidak biasa tersebut, ini kesempatan bagi El untuk bangun. El hanya bisa beristighfar dalam hati dan berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. El segera tahajud tanpa mengajak Din yang mungkin pura-pura tertidur.
El masih tidak menyangka atas kejadian malam itu. Ia hanya bisa terdiam dan bersedih atas prilaku Din atas dirinya. Tanpa sengaja El melihat pembicaraan aneh Din dengan seseorang yang ia panggil ‘Mas-ku sayang’ ketika Din meminjam notebook El untuk membuka jejaring sosial yang lupa ia log out.
El berusaha memperbaiki perasaan dan prasangkanya yang kacau. Ia berusaha mencari tahu sebab Din menjadi seperti itu. Dia teringat kisah umat nabi Luth yang diazab dengan dilempari batu panas dan dijungkirbalikan negara beserta penduduknya sebagaimana terbaliknya telur di atas penggorengan.


Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, sedang kamu memperlihatkan(nya)?"
"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)."
Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wakan dirinya) bersih."
Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).
Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.

(Q.S. An-Naml : 54-58)

Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.”
Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar."
Luth berdoa: "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu."
Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk negeri (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim."
Berkata Ibrahim: "Sesungguhnya di kota itu ada Luth." Para malaikat berkata: "Kami lebih mengetahui siapa yang ada di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).

Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak punya kekuatan untuk melindungi mereka dan mereka berkata: "Janganlah kamu takut dan jangan (pula) susah. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali isterimu, dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)."

Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik.

Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal.


(Q.S. Al-Ankabut : 28-35)



El seminggu terbaring sakit di kamar kos-an dan bertanya ke banyak ustadz menanyakan tentang masalah Din melalui sms, telepon, dan e-mail. Akhirnya, El memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Din. El sudah punya sedikit jawaban untuk mengatasi masalah Din yang dia dapat dari Ustadz, Psikolog, dan buku. Pada suatu sore El mengajak Din bertemu di perpustakaan kampus untuk menanyakan perbuatan Din yang diperbuat seminggu lalu.

“El.. ada apa aku disuruh datang ke sini? Sepertinya ada yang penting.”

“ya ada..”, jawab El dengan santai.

“ada apa ya?”

“aku hanya mau tanya satu hal, Din. Tolong kamu jawab jujur. Kamu tahu kan kalau berbohong itu tidak pernah bawa keuntungan. Jujurlah walau itu sangat menyakitkan.”

“apa El? Kayaknya serem banget si.”, jawab Din dengan gemulai.

“kamu punya kelainan sex ya? Kamu suka sesama jenis?”

Din terkejut, diam, dan matanya mulai berkaca-kaca, kebingungan harus menjawab apa. Selama ini El adalah teman yang baik dan selalu membantu Din dalam segala masalah. Kali ini perasaan Din benar-benar berbenturan dengan kenyataan. Din juga tidak mengerti terhadap dirinya yang mempunyai kelainan sexual , tersiksa rasanya jika harus berbohong terhadap El.

“kenapa kamu bisa bicara begitu El?.”, tanya Din dengan sedikit menenggak ludah.

“aku melihat beberapa keanehan yang kamu lakukan.”
“keanehan apa??”, tanya Din sambil mengangis.

“kamu ingat ketika meminjam notebook-ku saat menginap di kosan-ku minggu lalu, kamu lupa logout akun YM kamu, Din. Maaf mungkin tidak sopan melihat, tapi itu tidak sengaja lho. Aku membaca chat box kamu dengan seorang laki-laki, Din. Tenang saja, Din. Aku tidak membocorkan hal ini ke siapa-pun. Entah selama ini aku salah dimana sebagai teman-mu sehingga aku juga jadi korban atas perlakuanmu. Kemana materi pengajian yang selama ini kamu catat? Apa harus aku bacakan kepadamu kisah tentang kaum Nabi Luth yang tidak ber-akal? Umat yang tidak tahan dengan bisikan setan.”

Din hanya bisa terdiam dan mengeluarkan air mata.

“maafkan aku, El.”, sambil terisak.

“apa yang membuatmu melakukan itu kawan?”, Tanya El sambil menenangkan Din.

“aku tidak tahu El. Aku bingung. Entah mengapa aku melakukan itu.

“apa kamu sudah lama seperti ini?.”

“iya El.”

“kawan.. mengapa engkau tidak tahu? Aku pikir kamu terlalu mengikuti perasaanmu sehingga kamu tidak tahu jawabannya. Gunakan akal-mu kawan, bukankah IPk-mu sampai hari ini hampir 4,00, lebih tinggi dibandingkan aku, Din?!.”

“aku tidak tahu, El.”

“baiklah.. mungkin aku belum mendapatkan alas an yang jelas mengapa kamu begitu. Aku hanya tahu syahwat itu bisa dikendalikan, dan apa yang kamu lakukan menentang fitrah-mu sebagai laki-laki. Mungkin ini yang namanya ketika akal tidak dapat menguasai perasaan. Aku yakin kamu pasti bisa menyukai lawan jenis.”



.......................................................................................



Mis terus saja mendesak El yang tersenyum-senyum sendiri. Mis merasa ada yang disembunyikan El. Di sisi lain El merasa senang ketika Din bisa dekat dengan lawan jenis, ada sedikit perkembangan dari Din yang selama ini memiliki kelainan sexual. Mis dan teman-teman yang ada di forum terus mendesak El.

“El.. tolong El jawab! Ada apa sebenarnya.”

“baiklah.. tolong kalian jaga rahasia ini dan jangan kaget!”, El memberontak.

“iya.. apa?”, Tanya San dan Ryo.

“Din itu sebenarnya homo.”

“asstaghfirullahaladziim… naudzubillah.”

Serentak semuanya kaget kecuali Mis yang hanya terdiam lalu menangis mendengar kabar itu. El menjelaskan dan menceritakan masalah Din. El berharap semuanya bisa membantu Din untuk sembuh. Bagi El menyukai sesama jenis bukanlah hal yang tanpa disengaja bisa terjadi, semua terjadi karena lingkungan, pengetahuan, kebiasaan, dan yang paling penting tidak adanya keimanan di dalam hati. Syahwat bagi El sesuatu yang bisa diatur, apa iya syahwat bisa muncul ketika melihat orang gila di tengah jalan yang tidak berbusana atau melihat wanita cantik yang mati gantung diri tanpa busana di mal? Tentu saja bisa, tetapi akal kita bisa menahannya, akal berbicara bahwa itu orang gila dan itu wanita yang sudah mati, hati juga ikut tergerak dan berbicara orang gila harus diselamatkan dan mayat wanita harus ditolong. El yakin bahwa suka sesama jenis bisa disembuhkan, keberadaan mereka harus diselamatkan bukan disalahkan. Bukankah Nabi Luth berusaha mengingatkan umatnya terlebih dahulu sebelum turun azab dari Allah untuk umatnya?. El optimis bahwa Din akan sembuh, sementara Kas, San, Ryo, dan Mis masih berusaha menahan kesedihan yang mereka rasa karena masih belum terima keadaan Din yang di luar dugaan mereka.

Wallahu’alambishawab.


Diangkat dari kisah nyata.

Minggu, 30 Oktober 2011

Ketika Hafalan Diuji #2

“Banjir.. Banjir.. air masuk ke rumah.”

Aku terbangun saat mendengar teriakan seorang teman satu rumah di tempatku tinggal, teriakannya terlalu berlebihan seperti orang melihat maling yang membawa kabur jemuran-jemurannya, aku sangat terganggu. Jarang sekali bisa menikmati tidur siang dalam suasana hujan, enak sekali tentunya. Allah selalu punya cara untuk menegur hamba-hambanya, ketika teriakan itu ku dengar ternyata bertepatan dengan adzan ashar, baiklah lupakan teriakan itu Allah masih sayang terhadap-ku ini waktunya sholat ashar.

Dengan kondisi setengah sadar dan setengah tidak percaya kalau tempat ini kebanjiran aku beranjak keluar kamar dan melihat keluar, masya Allah, benar.. ini air bah. Semua sibuk dan akupun sibuk, semua mengeluarkan air yang masuk ke dalam rumah, teras bagian depan dan samping telah dikepung oleh air, hampir selutut. Kami berusaha menahan air dari pintu samping terlebih dahulu, dengan mengumpulkan beberapa kain bekas kami menutup pintu dan menahannya dengan kain bekas, untuk sementara aman. Akhirnya kami putuskan sholat ashar sore itu dibagi menjadi dua kloter, ini strategi awal, kloter pertama dipersilahkan sholat lebih awal dan sisanya menjaga pintu agar air tidak masuk. Ternyata hujan semakin besar, teman-teman kloter kedua kesusahan menahan air, teman-teman di kloter pertama telah selesai sholat melihat keadaan itu semua makin bersemangat, bersemangat untuk main air. He..

“woy mantap woy.” Ujar Kholid seorang teman dari Solo yang logat jawannya masih kental, medok.

“akhirnya ane mandi ujan juga bang, ane gak boleh mandi hujan dari kecil, ane siap-siap dulu deh.” Kata Rendy dengan aksen setengah Minang setengah Batak kepada-ku.

Teman-teman kloter kedua kewalahan menahan air perjuangannya luar biasa, sampai basah kuyup, akhirnya mereka berinisiatif untuk mengambil ember sebanyak-banyaknya dan mengajak teman-teman kloter pertama untuk mengeluarkan air ke luar pagar.

“ayo.. akh.. kita sedang berperang ini.”, kata Syamsudin seorang komando perang melawan air dibawah hujan sore itu.

iya akh.. ini tidak boleh dibiarkan.”, itulah yang dikatakan Ustadz Izhar al-Hafizh dia-pun melanjutkan membuang air.

“Allahu Akbar!!!.”, semua teman-temanpun takbir dan turun untuk mengeluarkan air dari teras, jujur aku ingin tertawa sekencang-kencangnya, harus sampai berlebihan seperti itukah untuk menyemangati kami agar bisa mengatasi banjir?, tapi rasa tertawa itu tertahan karena melihat semangat kawan-kawan yang luar biasa ingin main air. He..

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 216)

Terpikir mungkin inilah perang, suasananya kadang memaksa kita untuk memilih ikut atau tidak, sama hal-nya seperti dakwah tidak semua orang bisa bertahan di jalan dakwah hingga akhirnya banyak yang memilih mundur atau mencari tempat lain yang lebih nyaman dan sedikit resiko. Oke, bukan berarti bermaksud untuk provokatif terhadap kata ‘perang’ itu sendiri, ini hanya analogi ingin memilih basah atau tidak basah.

“Allahu Akbar!! Kita harus selamatkan tempat tinggal kita dari banjir.”

“Allahu Akbar!!.”, Semua bertakbir dan mengangkat senjata mereka masing-masing.

Semua bersemangat membuang air ke luar dari genangan dengan senjatanya, ada yang menggunakan ember, gayung, nampan, bahkan gelas. Ada orang lewat yang melihat kami sampai geleng-geleng kepala dan tersenyum entah kenapa, mungkin kami hampir disangka gila di bawah guyuran hujan deras teriak-teriak seperti bocah sedang mandi bola. Haha.. tak apa ini kesempatan untuk ber-ekspresi. Belum selesai genangan air di teras samping teratasi air pun menyerang melalu teras depan hingga masuk ke kamar para ustadz. Akhirnya kami mengatur strategi kembali.

“akh.. kita bagi jadi tiga pasukan aja, antum jaga teras depan, antum jaga di sini teras samping, dan sisanya bikin parit.”, akhirnya strategi perang khandaq digunakan, kali ini Imin yang mempunyai ide.

“oke akh… coba akh syam antum pinjem linggis dan palu ke tetangga sebelah untuk bikin parit.”

“siap ustadz..”, Syamsudin pun berlari di bawah derasnya hujan ke rumah tetangga untuk meminta bantuan berupa tambahan logistik senjata.

Pasukan khandaq, para pembuat parit, Imin, Syamsudin, Ust. Izhar, Iqbal, Irfan, Rendy, dan Kholid. Aku kebagian untuk menjaga teras depan, entah sudah berapa korban yang berjatuhan karena kehilangan sandal yang ada di teras depan hanyut dibawa air. Semua terus berusaha menjaga pos pertahanannya masing-masing. Air pun mulai berkurang, saatnya untuk membersihkan bagian dalam yang basah terserang banjir. Alhamdulillah, hujan mulai mereda ruangan depan dan samping sudah bersih dan kering, tetapi pasukan khandaq masih berjuang membuat parit, subhanallah. Tak ada salahnya kalau aku membuat sedikit penghangat badan untuk orang-orang yang sudah berjuang menjaga barak para penghafal al-Quran di sini, Rumah al-Quran UI, aku pun meminta bantuan ke beberapa teman untuk menyiapkan teh hangat dan tiba-tiba Syamsudin yang masih basah masuk ke dapur membawa se-kardus mi instan.

“tolong di masak akh.. ini untuk semua, kami kelelahan sepertinya.”, dengan gaya komandan dia berbicara kepadaku.

Sore itu sangat seru, akhirnya semua beristirahat dan bersih-bersih, bersama-sama kami menikmati hidangan sederhana yang dibuat oleh pasukan teras depan.

Tidak salah jika ada orang yang berkata ia mencintai hujan karena memang hujan membawa banyak keberkahan jika disyukuri. Allah selalu punya cara untuk mempersatukan dan memperbaharui kegaringan ukhuwah diantara kita, asal hati kita terbuka untuk menerima dan berlapang terhadap semua keadaan yang Allah berikan. Sore itu hujan menjadi media untuk memberbaharui ukhuwah yang selama ini jarang digunakan untuk beramal jama’i, itulah keadaan yang Allah berikan. Ya Allah.. bantulah kami agar bisa mengahafal mengamalkan ayat-ayat Mu.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Al-Imran : 103).

Uhibbukumfillah akhi..^,^v

Rabu, 26 Oktober 2011

Ketika hafalan diuji #1

setelah menyelesaikan sholat isya aku beranjak keluar dari masjid untuk kembali pulang ke Rumah al-Quran. setelah keluar, aku melihat seorang anak kecil yang sedang berbicara dengan seorang bapak berkaus kutang, mimiknya cukup bengis ketika berbicara dengan anak kecil yang tampangnya lugu. Terlihat si bapak berbicara dengan nada setengah mengusir si anak, akhirnya anak itu berjalan sedikit ke arah pertigaan jalan. Ia berdiri manis di pertigaan jalan yang cukup gelap dekat masjid al-Hidayah, sepertinya menunggu sesuatu, wajahnya kebingungan.

oke.. saat itu aku kurang peduli, mungkin itu hanya keributan antara ayah dan anak, mungkin juga masalah keluarga. Si anak berpenampilan rapih, rambut hitam lurus, mengenakan ransel merah yang sudah usang, dan berkulit sawo matang. persis ketika aku melintas di hadapannya, ia memanggil.



"kak.. aku boleh minta tolong gak kak? aku mau jual baju untuk bantu bayar hutang ibu.", ucapnya sambil memelas dengan mata yang berkaca-kaca, terlihat wajahnya kelelahan.



agak kaget ketika ia memanggil. Jujur, aku berpikir anak ini sedang menipu pasti ia ingin mengemis, tapi dengan modus yang berbeda. maklum di Depok tidak sedikit pengemis yang memintanya dengan cara menipu. ya.. su'udzon tingkat tinggi dan berusaha tetap tenang.



"hmm.. adek tinggal di mana? orang tuanya ke mana? masih ada kan?!"



"aku tinggal di pasar Parung kak, ibu-ku ada di rumah, bapak kerja di daerah pancoran jakarta.", bahasa anak itu cukup sopan dan formal ditambah dengan ekspresinya yang sangat memelas itu, su'udzon mulai berkurang.



"jauh banget dek! pasar Parung kan jauh dari sini, kenapa malem-malem keluyuran begini?"



"aku tadinya mau jual baju di dekat sini kak, malu kalau jual di deket rumah nanti ibu bisa malu. ibu-ku udah janji sama warungnya mau bayar utang malam ini."



"kamu ke sini naik apa? sendirian? kok bisa sampe sini?"



"iya kak sendiri, tadi aku naik angkot turun di terminal depok dan jalan sampai di sini, aku tadi udah nawarin bajuku ke orang-orang, eh.. sampe disini deh.", aku kebingungan akhirnya aku ajak ia untuk datang ke tempatku tinggal, Rumah al-Quran, untuk mencari tahu lebih dalam tentang anak ini.



"ya udah ikut kakak dulu yuk ke rumah, mau gak?"



"iya kak mau." , mimiknya agak berubah mulai ada sedikit senyum dari bibirnya yang mungil.



sepanjang jalan aku terus bertanya tentang dirinya dan dia menjawab dengan jujur, sepertinya.



"kamu udah gak sekolah dek?"



"aku udah berhenti kak dari kelas 2 SD, dulu aku tinggal di Ciputat."



"tinggal di Parung udah berapa lama?"



"kira-kira setahun kak."



"sekarang umur kamu berapa?"



"15 tahun kak."



"harusnya kamu udah SMP ya?! kenapa gak sekolah lagi?" , mungkin ini pertanyaan bodoh karena aku mungkin menyinggung perasaan si anak. Dengan sederhana dia menjawab.



"karena gak ada uang kak, bapakku baru dapet kerja 10 hari ini di daerah Pancoran Jakarta, bapak pulang cuma 3 hari sekali kadang seminggu."



"bapak kerja apa? selama gak sekolah kamu ngapain aja dek?"



"gak tau kak, aku jualan kantong plastik di pasar. setiap pagi aku minta tiga ribu sama ibu, terus aku beli plastik kresek untuk dijual lagi di pasar, biasanya aku dapet tiga belas ribu sampe malem dan itu untuk ibu semua."



mulai hati ini terketuk, jujur sepanjang jalan ketika mendengar jawaban-jawabannya mataku sedang menahan airnya agar tidak keluar. kami hampir sampai dan si anak agak sedikit takut, mulai terpikir lagi jangan-jangan anak ini bohong.



"kak.. aku takut disangka bohong. tadi aku udah tawarin baju-ku ke kakak yang sebelah rumah kakak ini. tapi aku tadi disuruh kakak itu pulang dan aku di kasih uang 25.000." ucapnya sambil tersenyum polos.



mulai lega ternyata rasa takutnya adalah rasa takut dituduh pembohong, aku kira dia memang berbohong. ku suruh dia duduk di ruang tamu teras depan rumah, aku ingin bertanya lebih banyak tentang anak ini. Teman-teman serumah mulai banyak yang datang sehabis sholat isya, mungkin semua juga bertanya-tanya, siapa anak yang sedang bersamaku.



"oke duduk dulu ya, tunggu dulu disini, dek."



aku pikir ini kesempatan untuk benar-benar mencari tahu anak ini jujur atau tidak. memulai dengan basa-basi.



"adek mau belajar al-Quran gak?"



"mau kak.. tapi saya malu, saya dulu cuma sampe iqro' 3. saya belum lancar bacanya."



"bener mau? kalau mau kamu belajar di sini aja. tinggal di sini."



"tapi diajarin dari awal kan kak? saya pasti akan ke sini lagi kak, tapi gak sekarang.", raut wajahnya agak bingung, entah bingung kenapa mungkin karena bingung kalau harus meninggalkan keluarganya jika harus tinggal di Rumah al-Quran tempatku tinggal. masih ada kesempatan agar masa depan anak ini lebih cerah.



"iya pasti dari awal diajarinnya.. dateng aja ya ke sini atau tinggal di sini gak apa-apa. Hmm.. adek jualan baju disuruh ibunya ya?"



"ibu cuma nyuruh saya usaha kak, ibu saya cuma kasih baju bekas untuk saya jual."



"kakak boleh lihat bajunya?"



dia mengeluarkan beberapa baju dari ransel merah lusuh yang ia gendong sedari tadi untuk diperlihatkan kepadaku. lagi-lagi wajahnya sangat polos, jujur, dan lugu, aku, perasaanku tidak bisa bohong untuk merasakan iba atas anak ini, aku hampir menangis. dia coba menawarkan barang dagangnnya dengan telaten.



"ini kak, baju koko punyaku yang udah gak muat, he. yang ini bekas adek-ku yang cewek yang ini bekas ibu.", semangat sekali.



"udah, bajunya jangan dikeluarin semua dek simpen aja.", jujur kali ini aku tidak bisa menahan air mata lagi, ditubuhnya yang kecil itu menyimpan ketegaran yang luar biasa dari seorang anak berumur 15 tahun. akhirny aku masuk dan menyiapkan sedikit hidangan untuk ia. sambil anak itu makan aku mencoba berbicara dengan teman-teman yang ada di rumah tentang dia. semuanya bersimpati dan berempati dan ingin melihat Iksan, salah satu teman ke depan menghampiri dan bertanya.



"namanya siapa dek?"



"iksan kak.", sambil tersenyum.



aku masih di dalam rumah menceritakan tentang si anak ke beberapa teman yang lain dan meminta teman-teman seisi rumah untuk membantu anak ini. disini dimulai apa yang sudah kami pelajari dan hafal diuji secara berjama'ah, tidak mudah memang untuk mengamalkan ayat-ayat al-Quran, penuh kemelut.





وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ



Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, . (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Q.S. Al-'Imran: 133-134)



faktanya sebagian besar dari kami saat itu sedang dilanda krisis, ada yang tidak punya uang sama sekali sampai-sampai ada salah satu teman yang menyumbang kornet, ini kesempatan untuk membuktikan bahwa yang kami hafal diamalkan sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah. tidak sedikit teman yang mengeluh karena sedang krisis, tetapi pada akhirnya teman-teman berusaha berbagi semampunya. Setelah satu-persatu dimintai alhamdulillah terkumpul beberapa ratus ribu, 2 kaleng kornet, 1 botol minuman, dan beras 4 liter untuk diberikan kepada Iksan. Iksan menjadi bingung tiba-tiba jadi banyak orang yang mengelilinginya dan menanyainya.



"Iksan pulangnya dianterin mau gak? ini udah malem.", salah seorang dari kami menawarkan Iksan.



"boleh kak.. tapi naik angkot aja gak apa-apa kak."



setelah kami musyawarah kecil akhirnya aku yang ditunjuk teman-teman untuk mengantarkan Iksan pulang. baiklah, semuanya berlomba-lomba meminjamkan motor untuk mengantarkan Iksan. akhirnya aku mengantar Iksan pulang dia pun pamit dengan kakak-kakak yang lain dan ia menyalami para kakak satu persatu. kurang lebih 45 menit perjalanan aku tiba di rumah Iksan, ternyata benar Iksan tidak bohong rumahnya di sekitar pasar Parung, aku matikan motor dan melihat ke arah rumah kontrkan kecil berwarna hijau terlihat Ibunya yang sedang istirahat dan empat orang adiknya sedang tidur santai. kedatanganku membuat Ibu Iksan kaget dan adiknya jadi terbangun dari tidur, Iksan masuk ke dalam rumah lebih dahulu membangunkan ibunya.



"assalamu'alaykum."



"wa'alaykumsalam.", jawab ibunya.



"ibu, tadi saya bertemu dengan Iksan di daerah margonda. tadi dia menawarkan baju ke saya."



"bapak ada bu?"



"bapak lagi kerja di jakarta mas."



"oh.. maaf mas jadi ngerepotin.", mata ibunya mulai berkaca-kaca entah kenapa.



"nggak apa-apa bu, alhamdulillah Iksan selamat. saya gak tega tadi lihat dia sendirian nawarin baju. begini bu.. kalau bisa Iksan jangan dibiarkan seperti itu lagi."



"iya mas.. iya." ibunya menangis dan aku berusaha menahan perasaan.



"kak.. mau minum dulu?", kata Iksan dengan penuh kesopanan sambil tersenyum, mungkin dia seperti itu untuk mengalihkan perasaan sedih karena melihat ibunya menangis karena kata-kata ku.



"gak usah san.. kakak gak lama kok."



akupun menawarkan Iksan agar bisa belajar kembali dihadapan ibunya.



"ibu.. gimana kalau Iksan dititip di tempat saya, tempat saya itu tempat belajar al-Quran. kalau ibu mau Iksan bisa belajar al-Quran ditempat saya, gratis bu."



"oh.. gratis ya mas."



"iya.. mudah-mudahan nanti Iksan bisa menghafal semua isi al-Quran, hafizh Quran, orang biasa bilang yang hafal al-Quran itu Hafizh."



"ohh yang bener mas."



"iya betul.. mungkin sekitar 2 tahun Iksan bisa jadi seorang hafizh."



raut wajah ibunya berubah ketika mendengar kata '2 tahun', Iksan anak pertama dikeluarganya mungkin ibunya belum rela kalau harus melepas anakny yang hebat selama itu.



"tapi terserah ibu sama bapak dan ihsan aja.. kita siap membantu, insya Allah. kalau memang nanti mau silahkan dateng aja bu, Iksan tau tempatnya. ya kan san?"



"iya kak aku inget kok."



"yaudah kalau gitu.. saya mohon pamit dulu. ini ada sedikit uang dan beberapa bantuan sedikit dari teman-teman saya untuk ibu dan keluarga mohon di terima."



tiba-tiba ibu menangis dan Iksan ikut berkaca-kaca matanya sambil berkata, "makasih banyak ya kak. huhu.."

penuh tangis.



akupun pamit adik-adik Iksan menyalamiku satu-persatu Rahman, Dewi, Rizky, kecuali si bungsu, Fajar, dia sedang tertidur.



"kaka pamit y, salam untuk bapak."



"makasih banyak mas."



"kak.kapan-kapan main ke sini lagi ya."



"insya Allah san ya.."



:')